Oleh: Dr. H. Suherli, M.Pd.
A. Latar Belakang
Penelitian tentang keterbacaan buku teks pelajaran ini berada dalam kerangka standardisasi mutu buku teks pelajaran di sekolah mengacu pada peraturan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyebutkan bahwa buku teks pelajaran termasuk ke dalam sarana pendidikan yang perlu diatur standar mutunya, sebagaimana juga standar mutu pendidikan lainnya, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pasal 43 peraturan ini menyebutkan bahwa kepemilikan buku teks pelajaran harus mencapai rasio 1:1, atau satu buku teks pelajaran diperuntukkan bagi seorang siswa. Buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah harus memiliki kebenaran isi, penyajian yang sistematis, penggunaan bahasa dan keterbacaan yang baik, dan grafika yang fungsional. Kelayakan ini ditentukan oleh penilaian yang dilakukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) Nomor 11 Tahun 2005 secara lebih rinci mengatur tentang fungsi, pemilihan, masa pakai, kepemilikan, pengadaan, dan pengawasan buku teks pelajaran. Menurut Peraturan Menteri ini, buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Buku teks pelajaran berfungsi sebagai acuan wajib oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Dari hasil kajian diketahui bahwa buku-buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah kita terdiri atas empat jenis. Apabila ditinjau berdasarkan klasifikasi buku pendidikan, maka terdiri atas (1) buku teks pelajaran; (2) buku pengajaran; (3) buku pengayaan; dan (4) buku rujukan (Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004:4). Buku teks pelajaran merupakan buku yang berfungsi bagi siswa untuk belajar. Jenis buku ini sangat bergantung pada kurikulum yang dikembangkan. Buku pengajaran dinamakan pula buku panduan pendidik (Permendiknas No. 11/2005). Buku ini berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam mengajarkan suatu materi pelajaran. Buku pengayaan berfungsi sebagai buku yang dapat memperkaya pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian siswa. Buku rujukan disebut juga buku referensi (Permendiknas No. 11/2005). Buku ini merupakan buku yang berfungsi sebagai sumber informasi dalam memperdalam suatu kajian. Jenis buku ini sering disebut pula dengan buku sumber atau buku acuan.
Beberapa karakteristik buku teks pelajaran adalah: (1) memiliki landasan keilmuan yang jelas dan mutakhir; (2) berisi materi yang memadai, bervariasi, mudah dibaca, dan sesuai dengan kebutuhan siswa; (3) disajikan secara sistematis, logis, dan teratur; (4) meningkatkan minat siswa untuk belajar; (5) berisi materi yang membantu siswa untuk memecahkan masalah keseharian; (6) memuat materi refleksi dan evaluasi diri untuk mengukur kompetensi yang telah dan akan dipelajari.
Dari aspek isi atau materi, buku teks pelajaran harus dapat dipertanggungjawabkan dari sudut kebenaran ilmu yang diajarkannya dan tidak melanggar tata norma yang berlaku. Bahan pembelajaran ini harus spesifik, jelas, dan akurat, sesuai dengan kurikulum yang berlaku, serta bersifat mutakhir dan mengikuti perkembangan zaman. Ilustrasi sesuai dengan teks dan lebih bersifat edukatif serta tidak hanya sebagai dekoratif.
Buku teks pelajaran juga harus menyajikan tujuan pembelajaran, mengatur gradasi dan seleksi bahan ajar, mengurutkan penugasan kepada siswa, memerhatikan hubungan antarbahan, dan hubungan teks dengan latihan dan soal. Penyajian ini hendaknya dapat meningkatkan motivasi siswa, mengarah pada penguasaan kompetensi, saling berkaitan sehingga bahan yang satu dapat mengingatkan bahan yang lainnya (recalling prerequisite), memanfaatkan umpan balik (feedback) dan refleksi diri (self-reflection).
Buku teks pelajaran hendaknya juga mampu menyampaikan bahan ajar itu dalam bahasa yang baik dan benar. Di sini dapat dilihat apakah penggunaan bahasanya wajar, menarik, dan sesuai dengan perkembangan siswa atau tidak. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yakni hal-hal yang berhubungan dengan kemudahan membaca bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi dan aspek-aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pembaca, kepadatan gagasan dan informasi yang ada dalam bacaan, dan keindahan gaya tulisan, serta kesesuaian dengan tatabahasa baku.
Pada tahun 2004 Depdiknas melalui SK Dirjen Dikdasmen Nomor 455 dan 505 telah menetapkan buku-buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Pengetahuan Sosial yang memenuhi kelayakan isi, penyajian, keterbacaan, dan grafika berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh PNPBP Pusat Perbukuan Depdiknas pada tahun 2004. Buku-buku tersebut pada tahun 2006 sepatutnya telah digunakan di SD/MI di seluruh Indonesia.
Untuk menentukan keterbacaan suatu teks pelajaran seharusnya dikaji pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca. Keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar (Rusyana, 1984: 213). Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan buku teks pelajaran.
Penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dilakukan terhadap buku-buku teks pelajaran pada 2004 hanya berpusat terhadap aspek bacaan, baik hal-hal yang berhubungan dengan wacana, paragraf, kalimat, dan kata yang dipandang dari kaidah bahasa Indonesia dan ketersesuaian bahasa dengan peserta didik. Sementara itu, informasi tentang kondisi pembaca dan interaksi antara pembaca dengan bacaan dalam kegiatan penilaian tidak menjadi pertimbangan karena informasi tersebut harus diperoleh ketika buku tersebut digunakan peserta didik sebagai pembacanya.
Oleh karena itu, informasi tentang pembaca dan interaksi pembaca dengan bacaan diperlukan dalam melengkapi keterbacaan buku teks pelajaran. Dengan demikian, dilakukan pengkajian secara lebih mendalam tentang aspek tersebut, yaitu “Keterbacaan Buku Teks Pelajaran Sekolah Dasar Berstandar Nasional” yang ditinjau berdasarkan karakteristik pembaca dan penggunaannya dalam pembelajaran.
B. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kajian keterbacaan ini menetapkan masalah sebagai berikut:
(1) Bagaimanakah profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar nasional, dilihat dari:
(a) Keragaman bacaan yang dibaca di luar jam pelajaran sekolah?
(b) Kekerapan melakukan kegiatan-kegiatan membaca di luar jam pelajaran sekolah?
(2) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang Berstandar Nasional apabila ditinjau berdasarkan karakteristik siswa sebagai pengguna buku?
Masalah ini dikembangkan lagi dengan mencermati karakteristik siswa. Oleh karena itu masalah ini dikembangkan lagi menjadi:
(a) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran apabila ditinjau berdasarkan keterpahaman siswa terhadap penggunaan kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana yang terdapat dalam buku tersebut?
(b) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran apabila ditinjau berdasarkan kemenarikan penyajian dalam buku teks yang turut menentukan keterpahaman buku tersebut?
(c) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran apabila ditinjau berdasarkan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian materi?
(3) Bagaimanakah keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar nasional apabila ditinjau berdasarkan penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru?
C. Landasan Teori Utama
Keterbacaan dalam bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan adalah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin (1980) menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland (1972) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu –seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
D. Metodologi Penelitian
Kajian keterbacaan ini dilakukan untuk mengetahui keterbacaan berdasarkan interaksi pembaca (siswa) dengan buku teks pelajaran Sekolah Dasar berstandar Nasional. Untuk mendapatkan informasi itu, terlebih dahulu dikaji profil pembaca (siswa) Sekolah Dasar di Indonesia. Fokus kajian ini adalah mengetahui keterbacaan buku teks pelajaran yang telah dinyatakan memenuhi standar nasional, terutama berdasarkan keterpahaman dan kemenarikan buku ditinjau dari kondisi siswa Sekolah Dasar di Indonesia. Selain itu, keterbacaan buku teks pelajaran tersebut ditinjau pula berdasarkan tanggapan dan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam hal keterbacaan berdasarkan kondisi siswa, data dikaji berdasarkan karakteristik siswa ditinjau dari (1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan (Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial); (2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur); (3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2 dibandingkan dengan kelas tinggi, kelas 3,4,5, dan 6); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan). Sementara itu, data dari guru tidak diklasifikasikan berdasarkan karakteristik guru, karena hal itu bukan sebagai fokus kajian ini.
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan sumber data berupa:
(1) Semua buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional.
(2) Siswa Sekolah Dasar (kelas 1 sampai dengan kelas 6) yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional.
(3) Guru Sekolah Dasar yang menggunakan buku teks pelajaran yang berstandar nasional sebagai bahan pembelajarannya.
Dalam menentukan sampel dari sumber data tersebut, dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria pemilihan sampel untuk studi keterpahaman siswa terhadap buku berstandar nasional adalah sebagai berikut:
(1) Buku pelajaran yang digunakan di sekolah yang berada dalam jangkauan studi ini dan sekolah penerima block grant buku pelajaran bahasa Indonesia, Sains, Pengetahuan Sosial, dan Matematika.
(2) Pemilihan sekolah dasar sebagai sampel dengan mempertimbangkan klasifikasi hasil akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Sekolah (Akreditasi A, B, dan C).
(3) Pemilihan sekolah juga mempertimbangkan letak geografis sekolah (sekolah kota besar, kota kecil, dan pinggiran).
(4) Pemilihan sampel siswa berdasarkan keterwakilan siswa laki-laki dan siswa perempuan dari tiap tingkat kelas (I sampai dengan VI).
(5) Jumlah sampel siswa untuk setiap kelas minimal empat orang.
(6) Jumlah sampel guru adalah seluruh guru kelas I sampai VI pada sekolah yang menjadi sampel.
Sementara itu, sebagai pembanding dilakukan kajian keterbacaan oleh ahli (desk research). Kegiatan ini dilakukan untuk mengkonfirmasi data-data yang terkumpul dari hasil penelitian. Oleh karena itu, untuk desk studi menetapkan kriteria sampel buku sebagai berikut:
a. Semua buku pelajaran bahasa Indonesia, Sains, Pengetahuan Sosial, dan Matematika yang berstandar nasional yang digunakan sekolah yang menjadi sampel sekolah.
b. Pemilihan sampel buku dilakukan secara acak dengan mempertimbangkan keterwakilan setiap mata pelajaran tersebut.
c. Pemilihan bagian yang ditelaah ditetapkan sebanyak tiga unit pelajaran (tiga bab) yang dipilih berdasarkan keterwakilan bagian awal, tengah, dan akhir dari keseluruhan pelajaran yang disajikan pada buku tersebut.
E. Hasil Penelitian
Pada bagian ini disajikan hasil penelitian yang dihubungkan dengan masalah yang diteliti. Penyajian hasil penelitian ini disesuaikan dengan hal-hal yang sangat dominan dilakukan oleh para siswa sekolah dasar. Adapun rincian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Profil Membaca Siswa
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar nasional (pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial) adalah sebagai berikut:
(a) Keragaman kegiatan membaca di luar jam pelajaran yang dilakukan siswa masih kurang. Bacaan yang dibaca setiap hari oleh siswa kelas 1-2 adalah buku komik dan judul-judul acara televisi terutama dilakukan oleh siswa laki-laki/perempuan kelas 3-6. Namun, siswa kelas 3-6 pun pada umumnya setiap hari membaca buku teks pelajaran. Bacaan fiksi (cerita) hampir tidak pernah dibaca oleh siswa 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6, demikian pula diketahui bahwa khusus kelas 3-6 pada umumnya tidak pernah membaca informasi dari internet. Bacaan yang dibaca sekali dalam seminggu pada umumnya berupa majalah atau koran. Selain itu, jenis bacaan yang dibaca sekali saja dalam seminggu oleh siswa putri kelas 1-2 dan siswa kelas 3-6 adalah komik, buku pelajaran dibaca sekali dalam seminggu oleh siswa kelas 1-2, dan siswa putri kelas 3-6 membaca buku cerita pada umumnya dilakukan hanya sekali saja dalam seminggu.
(b) Kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah dilakukan para siswa masih rendah. Kegiatan membaca dan membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah memiliki kekerapan lebih kecil dibandingkan dengan kekerapan mereka menonton televisi. Hal ini berarti bahwa kegiatan menonton televisi yang dilakukan siswa lebih dominan dilakukan daripada kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah. Hal yang sangat menarik diketahui bahwa dalam menonton televisi siswa kelas 1-2 perempuan dan siswa kelas 3-6 laki-laki lebih banyak daripada siswa laki-laki kelas 1-2 dan perempuan kelas 3-6. Dalam hal membaca fiksi (cerita pendek/novel, puisi, atau drama) pun masih sedikit dilakukan. Kegiatan membaca buku jenis fiksi ini pada umumnya dilakukan sekali-sekali saja dengan jumlah waktu yang lebih sedikit daripada kegiatan mereka menonton televisi. Demikian pula dengan membaca informasi dari koran, majalah, atau bacaan di internet (khusus kelas 4-6) masih sangat sedikit dilakukan oleh para siswa.
2) Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa
Dari kajian keterbacaan berdasarkan interaksi antara bacaan (buku teks pelajaran) dengan siswa yang ditinjau berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diperoleh hasil penelitian sebagaimana diuraikan berikut.
(a) Keterpahaman Kosakata
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
(b) Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal ini pula yang menjadi penentu kedua dari tingkat keterbacaan buku teks pelajaran.
Hal yang harus diperhatikan bahwa keterbacaan buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa, terutama pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial.
(c) Keterpahaman Paragraf
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan.
(d) Keterpahaman Teks/Bacaan
Pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku berstandar nasional dapat dipahami (64,55% atau 373 responden). Apabila ditinjau berdasarkan bentuk-bentuk wacana yang digunakan dikaitkan dengan karakteristik bacaan yang dianggap mudah dipahami siswa ditemukan bahwa alasan suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-2) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut kelas tinggi jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi.
Berdasarkan klasifikasi jender responden, diketahui bahwa menurut siswa perempuan suatu teks mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut siswa laki-laki jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi, narasi, dan argumentasi.
(e) Kemenarikan Penyajian Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian diketahui bahwa buku teks berstandar nasional pada umumnya sangat menarik yang diungkapkan oleh 97% siswa yang menjadi responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan pernyataan tersebut dinyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar nasional menarik karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf/bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami.
Kemenarikan buku teks pelajaran berstandar nasional jika ditinjau berdasarkan karakteristik responden, alasan tersebut hampir sama, kecuali ketika responden diklasifikasikan berdasarkan tingkatan kelas. Responden kelas tinggi (kelas 3-6) menyatakan bahwa kemenarikan buku teks pelajaran berstandar nasional adalah karena disajikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan jilid dan gambar berwarna, sedangkan menurut responden kelas rendah (1-2) karena menggunakan gambar yang memperjelas isi dan menggunakan huruf yang terbaca dan jelas.
(f) Kemudahan Memahami Sistematika Penyajian
Berdasarkan sistematika penyajian buku teks pelajaran berstandar nasional diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran itu mudah dipahami karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa.
Namun, apabila ditinjau berdasarkan jenis pelajaran diperoleh informasi bahwa penyajian buku teks pelajaran Bahasa Indonesia mudah dipahami karena materinya disesuaikan dengan pengalaman siswa. Penyajian buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial dan Sains dianggap mudah dipahami karena penyajian materinya disertai gambar. Sementara itu, buku teks pelajaran Matematika dianggap mudah dipahami karena penyajian materi dalam buku tersebut dikaitkan dengan pengetahuan siswa.
3. Keterbacaan Berdasarkan Penilaian Guru
Berdasarkan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,52. Buku teks pelajaran Matematika memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,71. Buku teks pelajaran Sains memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,68. Buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,22. Keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial berdasarkan penilaian guru-guru yang mengajar di wilayah Indonesia bagian Barat diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran berstandar sebesar 3,67 sedangkan guru-guru di wilayah Indonesia bagian Timur 3,50.
Para guru memberikan penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar yang berstandar dengan skor rata-rata sebesar 3,58 dari skor ideal 5,0. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum para guru menyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar memiliki kualitas keterbacaan yang tinggi. Hal ini dapat diketahui dari skor rata-rata nilai keterbacaan yang diberikan guru berkaitan dengan pengalamannya dalam kegiatan pembelajaran, pada umumnya di atas skor rata-rata nilai keterbacaan. Hanya penilaian ini dianggap kurang komprehensif karena dilakukan berdasarkan buku-buku Sekolah Dasar berstandar nasional yang digunakan di sekolah tersebut.
Hasil penilaian yang dilakukan guru ini selanjutnya dilakukan justifikasi oleh peneliti melalui desk study dengan melakukan random sampling terhadap 37 buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional. Berdasarkan kajian desk study diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku-buku teks pelajaran berstandar untuk Sekolah Dasar memiliki nilai 3,45. Dengan demikian, skor rerata ini tidak berbeda jauh dengan penilaian yang dilakukan guru atau tidak memiliki bias yang terlalu jauh.
Berdasarkan kajian ini diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran berstandar belum dilengkapi dengan buku Pedoman Pendidik, sehingga skor yang berhubungan dengan aspek tersebut sangat kurang. Demikian pula dengan kriteria buku yang dilengkapi dengan work book, pada umumnya buku berstandar tidak dilengkapi dengan buku kerja.
F. Simpulan
Dari penelitian keterbacaan buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diperoleh simpulan sebagai berikut:
(3) Dalam melakukan studi tentang profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar, diketahui bahwa:
(a) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik setiap hari di luar jam pelajaran sekolah untuk kelas 1-2 adalah membaca komik dan untuk kelas 3-6 adalah acara-acara televisi dan membaca buku teks pelajaran. Siswa kelas 1-2 pada umumnya membaca kembali buku pelajaran sekali saja dalam seminggu. Peserta didik hampir tidak pernah membaca informasi dari internet dan fiksi (buku cerita rekaan), kecuali siswa perempuan kelas 3-6 yang membaca fiksi sekali dalam seminggu. Kegiatan membaca informasi dari majalah atau koran pada umumnya dilakukan sekali saja dalam seminggu.
(b) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah memiliki porsi lebih rendah daripada menonton televisi, terutama yang dilakukan oleh siswa perempuan kelas 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6. Berdasarkan kekerapannya diketahui bahwa membaca buku jenis fiksi, informasi dari koran, majalah, dan internet cenderung dilakukan sekali-sekali saja, dengan porsi yang lebih rendah daripada menonton televisi.
(4) Keterbacaan buku teks pelajaran berstandar bergantung pada keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf dan jenis bacaan yang digunakan; kemenarikan penyajian buku tersebut; dan kemudahan menggunakan sistematika penyajian materi.
(a) Keterpahaman kosakata dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan pada awal paragraf dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku berstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
(b) Kemenarikan penyajian buku-buku teks pelajaran berstandar adalah sangat tinggi, karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami. Buku teks pelajaran yang menggunakan bahasa yang mudah dipahami, menggunakan jilid atau gambar berwarna, menggunakan gambar dan ilustrasi yang dapat memperjelas isi, serta menggunakan huruf yang terbaca dan jelas memiliki daya tarik yang menentukan keterbacaan buku tersebut.
(c) Kemudahan dalam memahami sistematika penyajian pun turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran berstandar. Kemudahan dalam memahami itu karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa sebagai pengguna buku.
(5) Keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar berdasarkan penilaian guru yang dihubungkan dengan pembelajaran, diketahui memiliki keterbacaan tinggi (3,58 dari 5,0). Pada umumnya buku teks pelajaran belum dilengkapi dengan panduan pendidik dan buku kerja sebagai pendukung bagi kegiatan pembelajaran.
G. Rekomendasi
Berdasarkan simpulan di atas, pada bagian ini disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
(1) Untuk meningkatkan keterbacaan buku teks pelajaran, selain perlu dilakukan peningkatan kualitas keterbacaan buku teks pelajaran berstandar, diperlukan pula peningkatan kualitas profil membaca siswa. Oleh karena itu, seharusnya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu membaca setiap hari, baik yang berhubungan dengan materi pelajaran maupun untuk mencari informasi dari koran, surat kabar, maupun internet. Dalam rangka meningkatkan intensitas membaca buku-buku cerita (fiksi), sebaiknya guru menyampaikan manfaat yang dapat diraih jika siswa melakukan kegiatan membaca jenis teks tersebut.
(2) Dalam rangka mengurangi porsi menonton televisi dengan kegiatan membaca siswa seharusnya setiap hari siswa dibekali kuis, latihan, atau kegiatan yang dapat mendorong mereka meningkatkan porsi membaca sehingga profil membaca para siswa sekolah dasar semakin baik.
(3) Untuk meningkatkan keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar sebaiknya jika penulis atau penerbit buku teks akan melakukan revisi buku tersebut dapat mengganti penggunaan kosakata yang jarang didengar dan belum dikenal oleh siswa; mengganti penggunaan kalimat yang belum intim dengan siswa dan kalimat yang kompleks; menata kembali paragraf-paragraf yang dapat diubah menjadi paragraf deduktif dan melengkapinya dengan gambar dan ilustrasi; menyesuaikan bentuk wacana dengan jenis wacana yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa.
(4) Dalam upaya meningkatkan keterbacaan buku teks pelajaran dapat dilakukan penulis atau penerbit dengan menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan, menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan terbaca, dan bahasa yang mudah dipahami siswa. Selain itu, dalam menata sistematika penyajian, sebaiknya penyajian suatu materi disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa agar dapat meningkatkan keterbacaan buku tersebut.
Dari penelitian ini dapat disampaikan pula rekomendasi hasil penelitian sebagai berikut:
(1) Dalam rangka meningkatkan penggunaan buku teks pelajaran berstandar oleh guru maka direkomendasikan agar penerbit melengkapi buku teks dengan panduan pendidik dan memberikan kejelasan tentang kelengkapan buku kerja yang perlu disiapkan dalam pembelajaran.
(2) Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen untuk siswa, yaitu untuk siswa kelas 1-2 dan kelas 3-6 namun terdapat kendala ketika pengguna instrumen mengukur siswa kelas 1-2 yang masih belum dapat membaca. Demikian pula, ketika melakukan penelitian, pada sekolah tertentu para siswa dibantu guru dalam memberikan jawaban, padahal seharusnya guru hanya bertugas mengarahkan siswa kelas rendah dalam menentukan jawaban yang dimaksudkan siswa. Oleh karena itu untuk penelitian berikutnya direkomendasikan agar instrumen untuk siswa perlu lebih disederhanakan lagi, disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa kelas rendah. Instrumen tentang profil membaca siswa perlu disederhanakan lagi dengan tingkat keragaman dan kekerapan yang lebih rasional.
(3) Data tentang penilaian guru terhadap buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar masih kurang komprehensif. Keterbatasan ini terjadi karena sebaran buku teks pelajaran tersebut tidak menyeluruh pada seluruh wilayah yang dijadikan sebagai subjek penelitian. Penilaian guru terhadap buku teks cenderung subjektif dengan sumber data terbatas sehingga diperlukan penelitian lanjutan dengan menambah keragaman buku teks berstandar dan jumlah guru yang menggunakan buku tersebut. Oleh karena itu, direkomendasikan agar penelitian selanjutnya dapat meningkatkan keragaman buku teks pelajaran berstandar yang dinilai oleh guru.
(4) Dalam penelitian ini masih belum banyak mendapatkan informasi yang berhubungan dengan interaksi pembaca dengan bacaan. Oleh karena itu, direkomendasikan penelitian lanjutan dengan meningkatkan kadar kajian pada interaksi tersebut yang meliputi kajian terhadap tingkat pengenalan kata (word recognising), pemahaman (understanding) terhadap aspek bahasa buku (wacana, paragraf, kalimat, kata), kemudahan (easily) memahami pesan, kemenarikan (interesting) aspek grafika buku (gambar, warna, sajian/lay out) dan tanggapan (responding) peserta didik dalam membaca buku teks pelajaran sebagai sumber belajar dan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Altbach, P.G. et.al. 1991. Textbooks in American Society: Politics, Policy, and Pedagogy. Buffalo: SUNY Press.
Alwasilah, A. Chaedar & Suhendra Yusuf. 2004. Model Buku Bahasa Inggris SMP. Naskah pada Pusat Perbukuan. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Alwasilah, A. Chaedar & Suhendra Yusuf. 2004. Pedoman Penulisan Buku Bahasa Inggris SMP/SMA. Naskah pada Pusat Perbukuan. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Bern, M. 1990. Contexts of competence: social and cultural considerations in communicative language teaching. New York: Plenum Press.
Bernhardt, E.B. 1991. Reading development in a second language: Theoretical, empirical, and classroom perspectives. Norwood, NJ: Ablex.
Birckbichler, D. 1990. New perspectives and new directions in foreign language education. Lincolnwood, Illinois: NTC Publishing Group.
Blau, E.K. 1982. The effect of syntax on readability for ESL students in Puerto Rico. TESOL Quarterly, 164, 517-528.
British Council. 1995a. Education in Indonesia. Jakarta: The British Council.
Canale, Michael & Merril Swain. 1980. Approaches to communicative competence. Singapore: SEAMEO Regional Language Center.
Chall, J.S. & Dale, E. 1995. Readability revisited: the new Dale-Chall readability formula. Cambridge, Massachusetts: Brookline Books.
Connor, U. 1984. Recall of texts: Differences between first and second language readers. TESOL Quarterly, 18, 239-255.
Davison, A. & Green, G.M. Eds. 1988. Linguistic complexity and text comprehension: Readability issues reconsidered. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Menuju Pendidikan yang Bermutu & Merata. Laporan Komisi Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004a. Keterampilan Dasar untuk Hidup. Literasi Membaca, Matematika, & Sains. Laporan Program for International Student’s Assessment. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian & Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
Forrester, M.A. 1996. Psychology of language: a critical introduction. London: sage Publication.
Goodman, K.S. 1982. Reading: A psycholinguistic guessing game. In K.S. Goodman, Language and literacy: The selected writings of Kenneth S. Goodman Vol. 1, pp. 173-183. Boston: Routledge & Kegan Paul.
Gilliland, John. 1972. Readability. London: Holder and Stroughton.
Hamied, Fuad Abdul. 1995. “Teori Skema dan Kemampuan Analisis dalam Bahasa Indonesia” dalam PELLBA 8. Kanisius: Jogyakarta.
Harrison, C. 1980. Readability in the classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Hill, C.A. & Parry, K.J. 1989. Autonomous and pragmatic models of literacy: Reading assessment in adult education. Linguistic and Education, 1, 233-283.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1994.
Klare, G.R. 1984. Readability: Handbook of Reading Research. New York: Longman Inc.
Krashen, S.D. 1985. The input hypothesis: Issues and implications. London: Longman.
McWhorter, K.T. 1997. Guide to college reading. New York: Longman.
Oller, J.W., Jr. 1979. Language test at schools: A pragmatic approach. London: Longman
Parry, K. J. 1993. The social construction of reading strategies. Journal of Research in Reading, 16, 148-158.
Piaget, Jean. 2002. Genetic Epistemology. [tersedia]
http://tip.psychology.org. (29 Desember 2002).
Pusat Perbukuan. 2004. Model Buku Pelajaran Bahasa Inggris. Depdiknas: Pusat Perbukuan.
Pusat Perbukuan. 2002. Pedoman Pengembangan Standar Perbukuan. Departemen Pendidikan Nasional.
Ruiz-Funes, M. 1999. Writing, reading, and reading-to-write in a foreign language: A critical review. Foreign Language Annals, 32, No. 4. Pp. 514-526.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro.
Rusyana, Yus dan Suherli (2004) Studi Keterbacaan Buku Pelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Schrock, Kathleen. 1995. Elementary Reading Instruction. The McGraw-Hil Company. [tersedia]
http://school.discovery.com (6 Sept 2003)
Smith, F. 1986. Understanding reading: A psycholinguistic analysis of reading and learning to read. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Supriadi, D. 2000. Anatomi Buku Sekolah di Indonesia: Problematika Penilaian, Penyebaran, dan Penggunaan Buku Pelajaran, Buku Bacaan, dan Buku Sumber. Yogyakarta: Adicita.
Swaffar, J.K., Arens, K.M. & Byrnes, H. 1991. Reading for meaning: An integrated approach to learn language. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Suryaman, Maman. 2002. Model Pembelajaran Membaca Berbasis Bacaan. (Disertasi). Bandung: Program Pascasarjana.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Keterampilan Membaca. Bandung: PT Angkasa.
Warriner, 1970. English Grammar and Composition. New York: Harcourt, Brace and world Inc.
Weaver Richard, 1979. Composition. New York: Holt. Pinahart and Winston.
Tampobolon. 1991. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak.Bandung: Angkasa.
Wassman, R. & Rinsky, L.A. 2000. Effective reading in a changing world. NJ: Prentice Hall.
Whitney, P., Ritchie, B.G., & Clark, M.B. 1991. Working memory capacity and the use of elaborative inferences in text comprehension. Discourse Processes, 14, 133-146.
World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project. Staff Appraisal report.